Cahyo Seftyono

Belajar Bersama, Maju Bersama

Cahyo Seftyono

News Analysis-Tribun Jateng: Perkuat Komitmen Bersama (Senin 9 Juli 2018)

Blog

Kita pasti pernah dengar guyonan, “Dari dua ratusan juta penduduk Indonesia, masak ga bisa nyari 24 orang buat jadi anggota tim PSSI yang bisa berkompetisi di level internasional?” Nah, pertanyaan yang kira-kira sama. belakangan saya pikir perlu direnungkan juga terkait dengan elit politik yang akan menduduki posisi strategi di legislatif (maupun eksekutif) di Indonesia. “Masak dari dua ratusan juta penduduk, mesti nyelip politisi yang korup dan ndak berintegritas?” Saat berbagai petinggi negara justru melontarkan wacana yang beragam tentang bolehnya koruptor untuk nyalon lagi di pilkada/pemilu. Apa kita kekurangan warga negara yang berintegritas?

Indeks Perspepsi Korupsi
Persoalan korupsi merupakan persoalan yang pelik. Tidak saja dari skalanya yang melingkupi lokal hingga nasional, tetapi juga apakah pelakunya individu, kelompok, atau individu yang tidak mendapat dukungan dari kelompok. Dan kita perlu meluruskan juga pandangan umum, bahwa koruptor hanya terbatas pada yang sudah diputus tetap oleh hakim. Bukan yang tersangka apalagi trial by press (terframing oleh media).

Jika kita merunut pada konteks kewilayahan, maka apa yang terjadi dengan korupsi di Indonesia memang sudah berjalan lama dan ada di berbagai daerah. Hingga akhirnya secara nasional kita membuat Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahkan, KPK kita yang terinspirasi dari kerja ‘KPK’-nya Hong Kong ini, menjadi pelecut bagi lembaga anti rasuah Malaysia untuk bekerja mengungkap kasus korupsi yang menjerat PM Malaysia, Najib.

Padahal, berhitung dari kualitas indeks korupsi, Indonesia ada di posisi 96dari 180 negara. Di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia juga Timor Leste.

Tidak mengherankan, sepertinya hal ini disebabkan komitmen atas pemberantasan korupsi memang tidak tinggi. Apalagi dari para politisi kita. Korupsi memang lebih akrab dengan politisi, meskipun tidak semua orang yang terlibat dalam korupsi adalah orang yang berstatus politisi. Namun demikian, karena akses atas kuasa dimiliki oleh para politisi, maka fenomena korupsi menjadi isu yang terus muncul di kalangan mereka.

Politisi, Parpol dan Penyelenggara Pemilu
Baru-baru ini ramai diberitakan soal polemik ijin bagi koruptor untuk berpartisipasi dalam pilkada/pemilu. Dari sekian banyak lembaga, hanya KPU dan lembaga independen (seperti Perludem) yang secara tegas melarang keterlibatan mereka. Bawaslu dan presiden masih memberikan ijin, dengan diberikan catatan.

Ada yang menarik di sini, jika kita ikuti medsos, maka akan terjawab mengapa dalam beberapa postingan viral tentang jumlah koruptor dari partai apa terbanyak tidak pernah bisa dirujuk. Banyak lembaga yang merilis perihal ini. Partai x juara koruptor dst. Tapi semua tidak pernah bisa dilacak secara tegas, sehingga publik juga tidak bisa secara mantap memberi penilaian.

Pertama yang perlu dilakukan tentu berkenaan dengan menyamakan visi dan persepsi, apakah koruptor yang berarti seseorang tidak berintegritas itu masih layak menempati posisi strategis dalam pemerintahan? Jika ternyata layak, maka perdebatan ini kita sudahi saja. Berarti memang kita permisif atas isu korupsi. Namun, jika kita sepakat tidak layak, maka kita perlu berlanjut ke pertanyaan selanjutnya.

Kedua bagaimana dengan jaminan hak politik bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pilkada/pemilu? Boleh jadi perdebatan hak politik itu muncul, larangan warga negara dalam berpolitik akan memunculkan polemik. Tetapi hal tersebut bisa saja dicari jalan keluarnya.

Ketika KPU, Bawaslu dan peserta pilkada/pemilu bersepakat untuk melarang kontestan koruptor berpartisipasi, maka baik parpol maupun penyelenggara pemilu dapat membuat kesepakatan bersama. Bahwa parpol tidak akan merekomendasi politisi korup. Bagi parpol yang melakukan ini, maka penyelenggara pemilu berhak menyampaikan ke publik bahwa parpol bersangkutan mendukung upaya pemberantasan korupsi dan tidak pro-koruptor.
Pandangan bahwa hal ini melanggar hak politik warga negara secara otomatis gugur, karena tidak ada satupun warga negara yang dilarang. Akan tetapi memang mereka tidak didukung untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan. Ini dua hal berbeda, dengan tujuan sama.

Integritas, Kontrol dan Kebijakan
Dari berbagai perdebatan yang ada, seringkali kita menyingkirkan peran parpol. Mengapa dalam memutuskan aturan larangan politisi korup tidak dapat dipisahkan dari peran serta parpol? Karena selain diajukan oleh parpol, ke depannya kinerja elit politik yang menduduki jabatan strategis juga tidak dapat dipisahkan dari kontrol parpol yang mengusung mereka.

Pada tahap pertama, perlu ada apresiasi bagi parpol yang mendukung politisi berintegritas dan visi membangun yang positif. Penyelenggara pemilu perlu memberikan kredit atas parpol-parpol yang memang mengajukan politisi korup. Apakah ini berarti kampanye? Bisa berarti iya, bisa tidak. Jika semua parpol melakukan ini, maka semua parpol akan mendapat citra positif.

Kembali ke skala korupsi level lokal dan nasional, maka perlu juga dipikirkan apresiasi ini bersifat lokal dan nasional. Hal ini disebabkan seringkali perilaku parpol tidak sama persis dari bawah sampai ke atas. Meskipun memang memiliki fatsun politik yang sama. Satu parpol di tingkat lokal tidak dapat untuk menggambarkan level nasional dan sebaliknya. Baik untuk apresiasi dan kritiknya.

Tahap kedua dari interaksi politisi dan parpol adalah ketika elit politik terpilih menjadi pemimpin satu wilayah atau legislator. Politisi berintegritas tidak otomatis aman dari syahwat korupsi. Mereka juga tetap perlu dikontrol. Elemen penting yang paling memungkinkan mendukung adalah parpol pengusung. Parpol pengusung yang selama ini hanya kecipratan citra positif ketika politisinya berprestasi, perlu juga dikritik ketika ternyata politisi yang diajukan justru melakukan tindakan melanggar hukum.

Dukungan dan kritik dari parpol pengusung kepada politisi yang menjadi pemimpin atau legislator adalah bagian penting bagi tetap berjalannya fatsun politik dan sekaligus kebijakan yang melibatkan pemimpin (eksekutif) dan juga legislator. Kebijakan yang baik hanya akan berjalan baik jika pemimpin (eksekutif) mampu bekerja sama dengan legislator. Jangan sampai kebijakan yang baik, justru harus berjalan melalui proses yang tidak baik hanya karena ada konflik kepentingan antara pemimpin (eksekutif) dengan legislator.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *