Cahyo Seftyono

Belajar Bersama, Maju Bersama

Cahyo Seftyono

Catatan (Agak) Pinggir: Membangkitkan Marwah Ilmu

Blog

Terbit di Suara Merdeka, 26 September 2019 dengan judul “Membangkitkan Marwah Ilmu”

Apa yang anda pikirkan jika sebagai akademisi mendapati nama terpampang sebagai penulis di satu artikel jurnal terindeks Scopus. Padahal dalam paper tersebut kehadiran nama kita tanpa kejelasan kontribusi. Tanpa proses saling memberi pandangan. Tanpa diskusi di antara penulis. Hanya satu yang jelas di situ: Terindeks Scopus. Indeksasi yang konon menjadi jaminan bahwa artikel kita bermutu dan akan tersaji secara global. Senang, Galau, Sedih atau apa?

Tradisi Persebaran Ilmu

Terjadinya sakralisasi indeksasi jurnal bereputasi tentu bukan tanpa sebab. Dan tidak semata-mata merupakan hegemoni yang muncul dari luar kepada bangsa kita. Sesungguhnya yang membuat kita tunduk pada indeksasi adalah sikap bergantung kita. Toh tidak ada juga kan yang memaksa kita untuk mengikut nalar indeksasi internasional itu. Setidaknya, ketergantungan itu dapat dilacak melalui diskursus persebaran ilmu.

Ada beberapa tahapan dalam persebaran ilmu yang ternyata berdampak pada apa yang membuat kita percaya pada pemberi informasi (ilmu). Pertama, ilmu mulanya disampaikan melalui tradisi lisan. Tradisi yang memungkinkan orang mendapatkan informasi secara langsung dari orang lain yang dianggap lebih memiliki pengetahuan. Proses dialog yang ada seperti jaman Socrates dan Plato; Nabi dan para sahabat; Kyai dan para santri; menyebabkan ruang dialog keilmuan menjadi eksis dan intim.

Ilmu bisa secara jelas didapat dari siapa dan bisa direspon secara langsung. Tidak ada keraguan dalam transfer pengetahuan itu. Meskipun ada posisi atas dan bawah dalam konteks pemberi dan penerima ilmu, keberadaan perbincangan yang intens menyebabkan keduanya juga berada dalam kerangka saling belajar memahami.

Tahap kedua,saat dimana kita sudah mulai mengenal tulisan, percetakan atau penerbitan. Lebih lanjut adalah keberadaan buku-buku di perpustakaan. Pada fase ini dialog intim dari pemberi ilmu dengan penuntut ilmu mulai ada jarak. Tidak ada interaksi yang intens. Pembaca di satu sisi juga memiliki peluang untuk melakukan pembacaan lain atas ilmu yang disampaikan. Ketika orang lebih menyenangi pergi ke perpustakaan atau membaca buku secara langsung tanpa didampingi orang yang lebih berilmu maka potensi salah pembacaan atas teks menjadi mungkin. Persoalan lain, mulai muncul pensakralan penerbit.

Jika pada tahap kedua kita masih disuguhkan standarisasi ilmu berbasis koreksi sejawat secara tidak langsung, saat ini kita sedang menjalani tahap selanjutnya: ketiga,database dan indeksasi. Kita tidak lagi peduli soal siapa penyampai ilmu atau penulis naskah (sebagaimana tahap pertama), kemudian kita juga sudah mulai acuh soal apakah penerbitnya bonafid dengan peer review yang baik (sebagaimana tahap kedua). Yang justru lebih dipikirkan adalah apakah yang memunculkan naskah itu terindeks atau tidak. Scopus atau Web of Science? Padahal indeksasi ini tidak melibatkan dialog keilmuan dua arah, tidak melibatkan peer review sejawat.

Dengan kata lain, naskah kita dinilai baik tidaknya bukan oleh akademisi yang memiliki otoritas untuk menilai itu. Melainkan kita menyerahkan ilmu pada penerbit yang mendapat stempel bereputasi sesuai dengan standar mesin pengindeks. Ilmu kemudian menjadi bukan bagian dari dialog pemahaman, baik langsung maupun diskusi tanpa tatap muka, melainkan merupakan upaya labelisasi baik atau tidak oleh mesin. Ujungnya, entah bagaimana caranya dapat terbit dengan label artikel pada jurnal bereputasi. Inilah bentuk degradasi ilmu paling mutakhir.

Asosiasi Keilmuan atau Sains terbuka?

Selanjutnya, bagaimana kita melawan hegemoni sistem indeksasi dan mengembalikan marwah ilmu? Setidaknya saat ini kita disuguhkan pada dua peluang yang bermuara pada kembalinya otoritas “mutu” pada begawan ilmu: kesarjanaan lewat asosiasi keilmuan yang menempatkan akademisi untuk saling berdialektika secara intens untuk memproduksi ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan. Atau yang kedua melalui sistem juga, hanya saja bedanya secara terbuka. Kita di Indonesia mengenalnya dengan sains terbuka. Dengan adanya sains terbuka, kita bisa berdialog secara interaktif atas satu temuan dan manuskrip layaknya diskusi intens, hanya bedanya tanpa tatap muka.

Keberadaan asosiasi sebagai alternatif pertama saat ini memang perlu didorong untuk mengembalikan kredibilitas keilmuan yang tersebar di berbagai media. Dengan adanya pengakuan atas orang-orang yang dianggap otoritatif dalam satu kajian tertentu, maka produksi ilmu atas kajian tersebut dapat didiskusikan dan diverifikasi kesahihannya melalui forum maupun statement dari para begawan. Hanya saja, terima atau tidak asosiasi keilmuan kita belum pada tahap itu. Belum pada tahap untuk mendialogkan temuan terbaru, memproduksinya dan menyebarkannya.

Kendala dalam menjadikan asosiasi keilmuan sebagai garda depan ‘penjaminan mutu’ nampaknya bermuara pada banyaknya anggota, luasnya wilayah dan sumber daya yang tidak seragam. Asosiasi seringkali masih ditargetkan untuk ajang bertemu tahunan yang tentu saja hampir tidak ada diskusi keilmuan yang intens terbangun. Sebagiannya justru disibukkan dengan urusan administrasi terkait kerja sama untuk kebutuhan akreditasi lembaga.

Oleh karenanya, perlu ada solusi lain yang memungkinkan temuan untuk secara intens didiskusikan di ruang publik. Ruang keilmuan yang bisa mendapat respon dari rekan sejawat. Dalam konteks digitalisasi ilmu, maka keberadaan wacana sains terbuka menjadi relevan. Sains terbuka memungkinkan sebuah temuan dibagikan dan direspon oleh berbagai pihak. Pun demikian, kita sebagai pembagi masih berpeluang untuk menentukan siapa yang akan kita pilih untuk kita respon. Hal ini tenteu berkaitan dengan pengetahuan kita atas siapa yang cukup otoritatif dalam merespon temuan kita.

Sains terbuka memberi harapan bahwa keilmuan akan dibebaskan dari jebakan indeksasi dan penerbitan menuju diskursus keilmuan yang dialogis. Seorang peneliti dan penulis akan mendapat respon konstruktif dari begawan di bidangnya tanpa disibukan dengan pertanyaan akan diterbitkan di mana. Jika sudah demikian, maka ilmu yang berbentuk naskah akademik tidak lagi dihargai atas statusnya terindeks apa, melainkan siapa yang menyatakan bahwa temuan kita kredibel.

Dan jika saya yang dihadapkan pada pertanyaan awal, “Apakah ketika sudah tembus Scopus hasil olahan sistem dan tidak jelas kontribusi kolega sejawat bisa serta-merta membuat kita bangga?” Saya akan menjawab: Tidak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *