Cahyo Seftyono

Belajar Bersama, Maju Bersama

Cahyo Seftyono

Catatan (Agak) Pinggir: Scopus (H)apus-(H)apus

Blog

Terbit di Suara Merdeka, 30 November 2019 dengan judul Scopus (H)apus-(H)apus

Belakangan gaduh lagi perkara jurnal bereputasi di Indonesia. Terbaru Pak Ali Ghufron Mukti Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristekdikti (Medcom, 19 November 2018) menyebutkan bahwa terjadi mal-praktikpublikasi. Tindakan ini mengacu pada temuan PAK Kemristekdikti yang menyebutkan terdapat ketidakwajaran dalam karya ilmiah akademisi kita: self citation, jumlah publikasi ilmiah yang tidak wajar, hingga penulis hantu (ghost author).

Sebelumnya, Bu Rizky Amelia Zein (The Conversation, 16 November 2018) menyebutkan hal yang kurang lebih sama. Obsesi pada Scopus sebagai pengindeks jurnal bereputasi. Menurutnya, obsesi atas Scopus ini berpangkal pada kebutuhan akan citra positif kampus. Secara spesifik pada pemeringkatan Quacquarelli Symonds yang mana salah satu kriterianya adalah jumlah documen Scopus dan sitirannya.

Apa sebenarnya yang membuat kita tergila-gila dengan Scopus? Jika ditelisik ke belakang, sebenarnya memang ada yang kurang pas pada kebijakan atas publikasi karya ilmiah bereputasi. Di tahun 2012 sebagai salah satu milestone, kita pernah dikagetkan dengan surat edaran terkait kewajiban publikasi Scopus. Bukan publikasi Scopusnya yang buat heboh, akan tetapi visi publikasi edaran tersebut. Disebutkan bahwa kita saat itu kalah dari Malaysia. Tepatnya secara total dokumen kita lebih rendah dari Malaysia.

Jika kita telisik jejak digital dalam setiap kesempatan penyampaian capaian publikasi selalu kita dapati, “Kita posisi sekian di ASEAN. Di belakang Thailand, Singapura dan Malaysia”. Ini selalu diulang tiap tahun, dengan menghilangkan satu per satu negara kompetitor. Dan dengan segala semangat ingin mengejar ketertinggalan itu akhirnya di penghujung tahun 2018 ini kita sudah mendekati visi. Kita sudah menempel ketat Malaysia pada angka 20ribuan dokumen dan meninggalkan Singapura di angka 14ribuan selama setahun.

Scopus Hapus-Hapus

Pernyataan Ali Gufron itu menjadi sedikit membingungkan jika kita bandingkan dengan realitas yang ada. Pertama, pemangku kebijakan memang menginginkan kita menjadi yang terbaik di ASEAN dan itu hampir tercapai. Kedua, mal-praktik publikasi yang sedemikian parah menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah secara serius memperhatikan persoalan riset dan publikasi. Yang mana seolah terlihat kaget atas capaian rupa-rupa publikasi kita. Ketiga, jika kita fokus pada kuantitas maka tidak perlu ada pernyataan terkait indikasi mal-praktik, namun jika memang kita fokus mutu maka tidak perlu kita berbangga atas capaian kuantitatif.

Jika merujuk pada website Scopus, maka bisa kita dapati bahwa penyebab Indonesia bisa mencapai puncak adalah banyaknya dokumen prosiding terindeks Scopus yang mendominasi perolehan kita. Berututan di tahun 2018, Indonesia (12ribuan), Malaysia (5ribuan) dan Singapura (2ribuan) sebagai negara dengan dokumen prosiding terindeks Scopus terbanyak. Artinya, Malaysia dan Singapura saat ini memang sudah lebih fokus di publikasi artikel jurnal dan bukan prosiding.

Sehingga tidak ada yang perlu kita banggakan ketika sudah “mengalahkan” mereka. Mengingat proses menerbitkan prosiding dan artikel jurnal tidak bisa disamakan. Prosiding bisa langsung terbit dan terindeks hanya dalam kurun beberapa bulan setelah seminar diselenggarakn. Sedangkan proses artikel jurnal dari pertama kali kirim bisa beberapa bulan hingga beberapa tahun.

Angka-angka ini menjadi penting untuk dibahas terkait dengan Scopus hapus-hapus atau statusnya yang discontinue. Tidak lagi terdaftar dalam indeksasi Scopus. Banyak prosiding dan jurnal yang ditengarai mutunya tidak terjamin mulai ditindak tegas oleh Scopus. Untuk prosiding terindeks misalnya ada yang dari Advanced Science Letter, sedangkan dari jurnal misalnya Man in India (Sumber: Scopus). Jika kita mau jujur, maka bukan tidak mungkin ketika dikurangi artikel-artikel di penerbit yang ter-discontinue posisi riil kita tidak di peringkat pertama. Oleh karenanya, positioning mutu seharusnya menjadi bagian utama dibandingkan dengan peringkat secara kuantitas. Selain juga impact yang seringkali kita kesampingkan.

Scopus Apus-Apus(Tipu-Tipu)

Apus-apus dalam bahasa Jawa artinya tipu-tipu, manipulatif, akal-akalan. Selain persoalan discontinue oleh Scopus, yang perlu mendapat perhatian adalah apresiasi yang tidak boleh dipukul rata atas satu capaian dengan capaian lain. Seolah kita lupa bahwa menulis adalah proses, dan masing-masing proses akan dihargai sesuai dengan tingkat kesulitannya. Benar bahwa kewajiban Scopus mendapat respon yang beragam di kalangan akademisi kita, persis sama seperti di Malaysia kurun satu dekade lalu.

Secara garis besar, respon terdiri dari dua kelompok: Pertama: Penolak Scopus yang notabene belum pernah menerbitkan paper terindeks Scopus. Dan juga yang sudah pernah menerbitkan artikel di Scopus. Bagi mereka, Scopus adalah representasi ‘penindasan’ dan ketidakpahaman atas ketimpangan sumber daya. Ya sumber daya manusia, jejaring, infrastruktur dll. Kedua: yang menerima kewajiban ini karena memang merasa Scopus adalah tahapan kualitas menulis. Di mana hal ini sejalan dengan beberapa kolega yang belum menerbitkan artikel Scopus tetapi menganggap itu nantinya sebagai capaian. Proses. Menjadi lucu ketika dipaksa begini dan begitu.

Masalah muncul berbentuk tipu-tipu, karena kewajiban ini mau tidak mau harus berjalan. Hasilnya, baik akademisi maupun pembuat kebijakan memperlunak aturan main: lewat prosiding terindeks dan melobi Scopus agar bisa memfasilitasi jurnal dengan kekhasan Indonesia. Ternyata keduanya berhasil, dalam artian kita mampu mengakselerasi jumlah dokumen dalam database Scopus.

Bagaimana pun prosiding tidak sama dengan jurnal. Prosiding merupakan capaian ‘sementara’ dari sebuah riset yang hendak didiskusikan di forum akademik. Oleh karenanya, secara ideal, seminar-seminar yang ada dikerjakan oleh asosiasi keilmuan dan bukan sembarang penyelenggara. Di sisi lain, prosiding sekali pun terindeks Scopus (maupun Clarivate Analystics) seringkali terbit dengan syarat yang sangat mudah: asal sanggup bayar. Kualitas artikel, termasuk kebaruan bukan menjadi prioritas dalam publikasi prosiding terindeks. Hal ini berbeda dengan jurnal yang relatif lebih ketat.

Persoalan lain adalah negosiasi kata kunci “Indonesia” sebagai syarat agar jurnal di Indonesia bisa terindeks Scopus. Beberapa jurnal di Indonesia yang memiliki kata “Indonesia” mendapatkan keistimewaan untuk dapat diindeks. Bukan hanya kemudahan syarat keragaman asal penulis, beberapa juga mutu artikel yang diterbitkan diragukan oleh kolega sejawat. Di satu sisi keistimewaan ini baik untuk mendorong publikasi jurnal di Indonesia. Akan tetapi jika salah visi (lagi), bukan tidak mungkin justru menjadikan jurnal dan akademisi kita jago kandang.

Tawaran Solusi

Persoalan yang ada sebenarnya sudah mampu diidentifikasi oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Mal-praktik dan ketimpangan sumber daya antar kampus adalah sedikit dari kompleksitas tantangan ke depan. Untuk masalah yang pertama, partisipasi asosiasi keilmuan dalam mengawal kegiatan akademik sesuai kompetensi. Sedangkan yang kedua, kita punya Relawan Jurnal Indonesia yang jejaringnya hampir seluruh Indonesia dalam mengedukasi dan mendampingi jurnal-jurnal terbitan kampus.

Paling penting, tentu dari sisi pembuat kebijakan ada baiknya mulai membuat rencana ke depan yang lebih terukur. Tidak sebatas untuk menang kalah dengan negara lain. Jika kita hendak fokus pada perbaikan publikasi, kembalikan urusan peng-indeks-an ini ke jalan yang benar. Biarlah indeksasi menjadi domain pengelola jurnal. Beri apresiasi mereka secara lebih baik. Para akademisi, peneliti maupun dosen, fokus saja pada riset dan menulis yang berkualitas. Selain apresiasi bersifat nominal, perlu juga apresiasi lain terkait dengan marwah sebagai akademisi.

Penulis adalah Lead Editor pada Indonesian Political Science Review (Sinta 2). Penerima Beasiswa IMPACT Program Doktoral Studi Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan-Universitas Gadjah Mada. Pandangan bersifat pribadi tidak mewakili lembaga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *