Terbit di Suara Merdeka, 8 Agustus 2019 dengan judul Gejala “Scopus Apartheid”
Sepuluh hari setelah pelaksanaan Simposium Politik Indonesia 2019 (Suara Merdeka, 26 Juni 2019) yang diselenggarakan Unnes, saya mendapati akun Facebook ditandai salah seorang pembicara utama. Dengan apresiasi tinggi di luar ekspektasi, SIP 2019 dianggap non-mainstream. Untungnya, di jalur yang sudah tepat mengikuti tradisi yang jauh lebih tua: pertemuan rutin American Political Science Association. Suyatno yang diaspora (pengajar dan peneliti) di Malaysia tersebut juga tidak lupa mengajukan gugatan atas kemerosotan makna konferensi di Indonesiasecara umum. Konferensi yang sejatinya menjadi forum pertukaran ide, justru menjadi arena untuk berlomba-lomba menaikkan jumlah dokumen Scopus.
Persoalan tidak hanya selesai di situ. Dalam sebuah rilis yang dihimpun oleh Katadata (4 Juli 2019) disebutkan bahwa peringkat Perguruan Tinggi (PT) papan atas dunia tidak juga mampu mengalahkan kampus-kampus di ASEAN. Kampus ranking satu di Indonesia hanya menang dua strip dari Universitas Brunei Darussalam. Kampus yang bahkan baru dua tahun lalu masuk dalam radar QS. Salah satu yang ditengarai menjadi penyebab adalah mutu riset kita rendah. Padahal jika ditelisik lebih lanjut capaian dokumen Scopus kita sudah menempel ketat Malaysia. Meninggalkan jauh Singapura, Thailand juga Brunei Darussalam.
Semakin kompleks, ternyata selain edaran dikti, menghasikan luaran artikel terindeks Scopus juga diwajibkan oleh kampus. Persis seperti gugatan Suyatno kebanyakan peserta ketika mendaftar bertanya dulu, “Apakah luarannya terindeks Scopus?”. Di perbincangan lain, bahkan ada yang mengatakan, “Jika tidak sanggup mensupport agar ada luaran Scopus, kampusnya ditutup saja.” Menyedihkan betul, kita dipisah-pisah hanya berdasar sanggup atau tidak membuat luaran Scopus. Padahal urusan mampu terbitkan artikel terindeks Scopus atau indeksasi bereputasi bukanlah perkara sanggup dan tidak sanggup.
Kebijakan yang TimpangTerima atau tidak, kemampuan seseorang akademisi untuk bisa menghasilkan luaran terindeks bereputasi bukanlah persoalan mau atau tidak. Bahkan juga bisa jadi bukan masalah sanggup atau tidak. Dalam temuan disertasi saya, banyak kasus akademisi yang lulus dari LN dengan beberapa artikel bereputasi tidak mampu meneruskan prestasi. Dua-tiga jejak publikasi selama studi ketika pulang dan dihadapkan pada realitas yang ada menyebabkan mereka justru disibukkan dengan hal-hal non akademis, termasuk urusan administrasi.
Di sisi lain, berdasarkan pengalaman mengikuti program magang dosen, dapat diketahui bahwa apa yang terjadi di dalam kehidupan PT kita tidaklah seragam. Kebijakannya sama, tuntutannya sama, tapi kemampuan dan akses pelakunya (dalam hal ini PT) tidak sama. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa terdapat kebijakan yang timpang dalam upaya mendorong capaian nasional khususnya terkait publikasi ilmiah. Salah satu hal yang mudah dilacak misalnya jika kita mencari lewat Google Trends. Dengan input “Scopus”, kata ini hanya populer di 21 region atau provinsi di seluruh Indonesia dengan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai yang paling perhatian. Lebih menarik, dengan masukan “Web of Science”, kata ini hanya familier di Jawa Barat. Keduanya tidak cukup diminati, bahkan sekadar untuk diketahui.
Sebab dari tidak optimalnya target capaian dokumen Scopus yang seharusnya diimbangi dengan kualitas ada banyak hal. Yang lazim kita perbincangan tentu persoalan SDM yang memang terkumpul di Jawa. Infrastruktur riset yang juga tidak merata. Sepuluh PT terbaik di Indonesia, kesemuanya ada di Jawa. Di sisi lain terdapat juga persoalan yang tidak terkait langsung dengan kemampuan akademik. Salah satu peserta magang pernah menyebutkan bahwa terdapat diskriminasi bagi akademisi bukan putra daerah. Meskipun lulusan PT ternama, tidak ada kesempatan untuk menjadi ketua riset yang didanai kampus maupun daerah. Di sisi lain, sebagai akademisi kompetisi untuk meraih hibah dikti pun tidak mudah. Dalam konteks ini, idealnya pemerintah melakukan diskriminasi positif atas kondisi yang asymestris.
Kolaborasi Bukan KompetisiKembali kepada gejala “Scopus Apartheid”, maka persoalan-persoalan yang pada keberadaannya mendahului kebijakan luaran terindeks bereputasi harus segera pemerintah atasi. Pemerintah harus mampu memilah dan berlaku lebih adil atas setiap akademisi dan PT yang berusaha berkontribusi pada negeri. Pendekatan yang perlu didorong adalah bagaimana menciptakan iklim kolaborasi antar PT yang lebih baik. Perbanyak hibah riset yang basisnya kolaborasi lintas PT. Keberadaan pemeringkatan yang ada tidak dijadikan dasar untuk berkompetisi melainkan sebatas panduan bahwa satu keilmuan bisa dirujuk di satu tempat, dan keilmuan lain di tempat yang lain.
Pun demikian dengan akademisi dan PT yang ada. Target dan capaian tidak semestinya hanya sebatas angka semata. Melainkan menjadi satu sinyal untuk menarik kolega bekerja sama, riset dan publikasi. Ini ibarat PTNBH dengan akreditasi internasional tidak boleh berasyik pada capaian itu, melainkan bagaimana mendesain agar lebih banyak PT kecil untuk bisa digandeng dan ikut maju. Kiranya sudah tidak layak untuk mengatakan PT lain untuk ditutup semata karena tidak mampu memenuhi target luaran indeks bereputasi. Karena hal tersebut juga merupakan tanggung jawab bersama.
Jika kolaborasi ini tercapai, maka diharapkan setidaknya “Scopus” tidak lagi asing bagi para akademisi di seluruh pelosok negeri. Scopus tidak lagi barang eksklusif sebagai pembeda mana yang bermutu mana yang tidak, yang sebenarnya hanya menguntungkan bagi akademisi dan PT dengan sumber daya (finansial) kuat. Dengan mengubah nalar kompetisi menjadi kolaborasi juga, maka kita bisa bersama-sama membangun reputasi akademik negeri. Semakin banyak PT berkinerja baik, akademisinya berkemampuan riset dan publikasi mumpuni, maka itu akan membawa nama Indonesia baik juga.