Dua kali mas Ganjar menegaskan “Jokowi!”. Ketika ditanya Jokowi atau Prabowo, bahkan dipertegas lagi ketika ditanya Jokowi atau Megawati. Ikatan kesinambungan lokal dan nasional seakan ingin ditunjukkan bahwa program antar layer pemerintah harus sinkron. Sedikit berbeda dengan mas Dirman, ketika ditanya Jokowi atau Prabowo, dia jawab “Nanti dulu”. Sejalan dengan penekanan dia tentang figur dan program. Dia ingin menunjukkan bahwa baik dan buruknya kinerja ke depan, itu adalah tanggung jawab dia dan timnya.
Pilgub Jateng kali ini merupakan konfigurasi yang cukup menarik antara nasionalis+agama. Berbeda dengan periode sebelumnya yang menunjukkan dominasi satu dua parpol, saat ini keberagaman, figur dan juga program lebih dikedepankan. Termasuk di dalamnya strategi untuk meleburkan dan meminimalisir dikotomi kultur masyarakat, abangan dan santri. Kedua pasang cagub-cawagub mencoba merangkul semua elemen. Tentu ini baik, karena berarti tensi pilgub yang berjalan tidak tinggi. Publik bisa menikmati perayaan elektoral ini.
Hanya saja memang kedua pasangan calon memang justru memberi penekanan yang agak berlebihan pada kalangan santri. Sebagai representasi wakil yang memang dimunculkan dari kalangan santri struktural. Hal yang sebenarnya kontra produktif, melihat bahwa realitas masyarakat Jawa Tengah yang beragam. Baik Gus Yasin maupun bu Ida memberikan penekanan pembangunan berbasis pondok pesantren. Agak menegasikan kelompok agama yang lain. Meskipun tidak begitu jelas.
Lebih jauh, pertanyaan-pertanyaan penting dijawab secara normatif oleh kedua pasang calon. Khususnya bagian kebijakan pemerintah. Kedua pasang calon masih belum bisa tegas memilih apakah akan mengambil opsi kebijakan populis ataukah yang secara perhitungan berkelanjutan untuk jangka panjang. Hal ini misalnya tampak dari pertanyaan tentang Kendeng. Mas Ganjar yang mendapat pertanyaan terkait keberanian dalam memimpin, nampak menunggu kajian KLH agar kebijakannya lebih kuat secara legitimasi. Pun demikian dengan Mas Dirman, dalam menjawab pertanyaan seputar kebijakan lebih banyak menjawab secara normatif dan tanpa terobosan berarti. Barangkali tidak untuk isu kemiskinan.
Isu kemiskinan yang memang menjadi persoalan penting di Jawa Tengah, karena lebih tinggi dari rerata nasional, menjadi perhatian yang harus segera dicari solusinya. Mas Ganjar lebih banyak menjawab bias data, sehingga nampak bahwa Jateng dalam kepemimpinannya mengalami penurunan angka kemiskinan. Yang kembali ditekankan dengan pemberdayaan pondok pesantren untuk mengurangi angka itu. Sebagaimana ditekankan Gus Yasin.
Pendekatan yang berbeda dari mas Dirman sedikit lebih menarik karena tidak hanya fokus pada kalangan santri, dia menekankan pada jalur yang sudah ada. Dengan memaksimalkan potensi dari anggaran dana desa, untuk menggeliatkan potensi warga. Pemilihan solusi yang publik sentris ini penting, mengingat partisipasi publik saat ini menjadi kekuatan penting, agar eksekutif tidak lagi terikat terlalu kuat atas kuasa legislatif. Mereka akan lebih bisa koordinatif. Bukan subordinatif.
Isu menarik lain terkait kebudayaan adalah manakala hal ini akan dijadikan trade mark Jawa Tengah. Apa yang ditawarkan oleh kedua paslon, saya kira akan efektif untuk menaikkan pamor kekayaan budaya lokal. Bukan saja budaya-budaya yang tampak, tetapi juga bagaimana hal tersebut terinfiltrasi pada kehidupan bermasyarakat dan dalam pemerintahan. Dan inilah salah satu terobosan mas Ganjar yang perlu diapresiasi.
Isu yang lain adalah infrastruktur. Benar bahwa salah satu fokus mas Ganjar selama ini adalah hal tersebut. Namun, yang menjadi realitas di lapangan, masih ada jalan-jalan di perbatasan provinsi yang belum sama kualitasnya dengan jalan provinsi di daerah Semarang dsk, Solo atau ke arah Jogja. Ini adalah PR penting mas Ganjar, termasuk mas Dirman yang mengaku akan komitmen pada kepemimpinan satu periode. Hal yang belum bisa dilakukan oleh mas Ganjar dalam satu periode bagi dia untuk menyelesaikan seluruh masalah infrastruktur. Ditambah, janji mas Dirman yang begitu banyak. Perlu strategi untuk memilah prioritas. Koordinasi lintas layer pemerintahan yang perlu diperkuat.
Sebagai closing, apa yang menjadi perhatian bersama di era otonomi daerah adalah bagaimana gubernur bekerja sama dengan bupati/walikota. Mas Ganjar tentu akan lebih mudah melakukan ini karena didukung lebih banyak parpol dan eksekutif di tingkat lokal. Koordinasi mereka tentu lebih mudah. Namun solusi pak Dirman untuk merendah dan mendatangi bupati/walikota patut juga untuk dinanti realisasinya jika nanti terpilih. Tentu kesemuanya penting untuk kemajuan Jawa Tengah dan wilayah-wilayah yang ada di bawahnya.