Cahyo Seftyono

Belajar Bersama, Maju Bersama

Cahyo Seftyono

Catatan (Agak) Pinggir: Carut Sengkarut Sabda Scopus

Blog

Belakangan saya mendengar pengangkatan guru besar (GB) di Perguruan Tinggi (PT) terjadi secara tidak wajar. Bagaimana bisa dikatakan tidak wajar? Hal ini merujuk pada beberapa aturan yang dikeluarkan KemenristekDIKTI terkait syarat-syarat untuk menjadi GB. Salah satu yang paling mendasar adalah memiliki publikasi internasional di jurnal bereputasi (Scopus). Menariknya, sebagian yang di(proses)angkat GB ini ketika dilacak, nihil publikasi jurnal bereputasi.

Saya tidak tahu, apakah karena peraturan yang sering berubah-ubah atau apa. Aturan ini kadang berlaku untuk satu orang dan tidak berlaku untuk orang yang lain. Bahkan, belakangan, sebelum persoalan aturan ini diperjelas, kemenristekDIKTI malah mengeluarkan aturan revisi terkait hal ini.

Semula publikasi dimaksud adalah semua yang terdapat dalam list jurnal Scimago. Sekarang dinaikkan tahtanya menuju kualifikasi Q2. Apakah ini kemudian menjadi solusi dari prosedur Penilaian Angka Kredit (PAK) wabil khusus terkait pengangkatan GB kita? Ternyata tidak juga.
Berlomba-lomba Asal Scopus

Gegeran Scopus ini mengingatkan saya pada beberapa tahun lalu saat nyantri dan jadi asisten peneliti di negara tetangga. Saya memiliki pembimbing yang kualitasnya oke punya, (sepuluhan tahun lalu) salah satu kandidat peneliti muda terbaik Malaysia. Selain publikasinya yang memang selalu ‘pilih tanding’ di jurnal kenamaan; sempat menjadi fellow di Asian Public Intellectual; saat ini dia juga menduduki jabatan strategis di lembaga think tank Malaysia: Institute of Strategic and International Studies.

Di bawah bimbingan guru saya ini, beberapa kolega di awal saya belajar sampai-sampai pernah bercanda nyinyir. Kata mereka, “Palingan kamu dalam 2-3 tahun dengan dia tidak akan pernah bisa menghasilkan publikasi”. Sial batin saya. Akhirnya pelan-pelan saya belajar nulis. Dan mulai menerbitkan artikel-artikel di jurnal-jurnal lokalan Indonesia. Juga beberapa kali seminar internasional. Tapi tetap saja, bukan terbitan di jurnal bereputasi (Scopus/ ISI Thompson).

Sepertinya guru saya ini merasakan kegelisahan saya. Karena di satu ketika dia pernah menyampaikan, “Untuk kualifikasi master itu, tahapnya belajar membaca. Doktoral, latihan menulis. Setelah itu baru kamu jadi akademisi yang mandiri yang akan bisa melakukan riset dan menerbitkan publikasi berkualitas sendiri.” Seketika saya memang langsung mencari tau, publikasi-publikasi macam apa yang pernah dihasilkan oleh kolega guru saya itu. Ya, kolega yang pernah nyinyirin saya juga.

Ternyata di medio 2000-an pernah terjadi booming Scopus di negara saya belajar. Kita perlu terima kenyataan pahit memang, seringkali beberapa langkah ketinggalan dari negara tetangga. Reward dari pemerintah untuk peneliti-peneliti yang mampu menerbitkan tulisan di “jurnal Scopus” terbilang cukup wah. Walhasil, semua orang berlomba-lomba untuk bisa menerbitkan artikelnya di sana. Persetan dengan jurnal abal-abal. Yang penting terbit, jurnal internasional dan ada embel-embel Scopus. Terasa seperti yang sedang terjadi di negara kita ya?

Pada titik itulah kemudian saya berpikir, ternyata insentif yang diberikan pemerintah terkait publikasi di jurnal Scopus ini justru sedikit blunder. Bukannya mengantarkan para akademisi menuju kualitas riset yang lebih baik melainkan semata mencari tambahan duit. Akhirnya mereka ndak peduli soal riset dan publikasi yang berkelas, melainkan asal Scopus dan dapat insentif yang lumayan bikin kantong di akhir bulan tidak terkuras.

Singkatnya, publikasi di jurnal Scopus ini memang cenderung sarat politisnya, dibandingkan dengan upaya mendongkrak reputasi akademisi. Jika di negara tetangga motivasinya untuk insentif, mungkin di negara kita motivasinya selain untuk kum juga untuk nyasar gelar GB. Meskipun sekali lagi, semua (banyak hal) bisa diatur.. Wkwk
Sikut Kanan Kiri Menyingkirkan Kolega Sendiri

Beda ladang, beda ilalang. Barangkali itu yang bisa menggambarkan bagaimana penyikapan negara tetangga dengan negeri kita terkait booming Scopus ini. Pilihan yang diambil oleh tetangga adalah mendorong insentif kepada jurnal-jurnal yang bisa diindex ISI Thompson. Artinya, saat ini publikasi artikel jurnal Scopus di negara tetangga sudah dianggap biasa.

Pemaksaan ini menjadi menarik. Karena kemudian masing-masing akademisi juga penerbit jurnal termotivasi untuk memperbaiki kualitas dalam rangka mencapai level (yang dianggap) lebih tinggi. Mereka tidak serta merta menjadi lesu, melainkan justru menggencarkan anggaran agar publikasi ISI Thompson di negara itu ikut terkerek naik. Ya, tidak ada saling bunuh antar penerbit jurnal. Kurang lebih begitu.

Hal ini berbeda dengan apa yang kita ambil sebagai kebijakan terkait PAK di sini. Kita sama-sama mahfum, bahwasannya jurnal abal-abal memang menjadi sasaran empuk pada akademisi yang ingin segera naik pangkat, terlebih bagi yang ingin promosi ke GB. Konon banyak ditemukan artikel-artikel untuk pengurusan GB yang terbit di jurnal abal-abal, jurnal asal Scopus. Persis seperti apa yang terjadi satu dekade lalu di negara tetangga.

Kebijakan “beda ladang, beda ilalang” ini sangat mencolok terjadi di kita. Jika mereka memilih untuk mendorong jurnal-jurnal Scopus menuju ISI Thompson, kita malah sebaliknya. Jurnal-jurnal yang sudah Scopus, karena dicurigai abal-abal malah dipaksa untuk mati. Caranya bagaimana? Dengan tidak menganggap artikel tersebut layak dinilai sebagai artikel di jurnal bereputasi.

Dalam aturan kemenristekDIKTI yang baru, terdapat aturan yang meyebutkan bahwa untuk dianggap sebagai jurnal internasional bereputasi, maka terdapat beberapa syarat. Misalnya harus dalam kategori Q2. Padahal, jika itu diterapkan, maka bukan tidak mungkin banyak jurnal di Indonesia yang sudah masuk radar Scopus akan tidak lagi menjadi target publikasi dari dalam negeri. Ya mau tidak mau jurnal-jurnal yang sudah terdaftar dalam Scimago itu akan menjadi layu sebelum bisa berkompetisi ke level yang lebih tinggi.

Saya kira ini salah satu bentuk kebijakan yang tidak tepat. Kebijakan yang politis. Karena kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mendorong, bukan kebijakan yang mematikan. Dan kemunculan aturan PAK baru yang justru membunuh jurnal-jurnal berkualitas dalam negeri ini, akan membuat kita semakin jauh dari kompetisi global yang semakin keras. Karena kita justru disibukkan dengan sikut-sikutan di dalam negeri. Entahlah. Semoga saja tidak.

*Tambahan: Penulis masih dalam tahap belajar menulis ilmiah. Belum pernah masuk Scopus dan sebenarnya juga tidak mau ambil pusing urusan Scopus-Scopus-an. Hanya menjadikan Google Scholar, DOAJ, Scopus, ISI Thompson dan yang lainnya sebagai pijakan-pijakan untuk belajar menulis lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *