Cahyo Seftyono

Belajar Bersama, Maju Bersama

Cahyo Seftyono

Catatan (Agak) Pinggir: “Pilkada untuk Publik, Mungkinkah?”

Blog

Coblosan pilkada langsung dan serentak tinggal hitungan hari. Namun bukan perasaan senang bahagia, melainkan bosan, muak, jenuh, dan berbagai perasaan negatif lain saya kira memenuhi benak warga negara belakangan hari ini. Kita disuguhi tontonan politik penuh intrik. Saling jegal juga saling cela satu sama lain. Lebih menjemukan lagi konsentrasi ide, energi, sumber daya seolah diarahkan hanya ke satu lokasi: DKI.

Padahal, di tahun 2017 ini ada lebih dari seratus kabupaten, kota maupun provinsi yang akan menyelenggarakan pilkada. Sudah begitu, kita diberikan tawaran yang amat tidak menarik, pertarungan ini dimainkan oleh elit-elit politik yang selama ini bertarung memperebutkan RI1 yang “menitipkan” orang-orangnya untuk berkompetisi di level yang lebih rendah. Baik intervensi mereka secara langsung maupun lewat prosedur rekomendasi ketum (atau lembaga tertinggi partai) yang memang semua partai politik menjalankan mekanisme tersebut.

Demokrasi Setengah Hati

Fenomena politik yang muncul belakangan ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Demokrasi kita, pada dasarnya hanyalah demokrasi setengah hati. Bukan demokrasi yang muncul melalui proses yang totalitas.

Oleh karenanya progres demokrasi kita yang paling menonjol palingan baru sebatas pemilihan langsung yang dianggap secara psikologis mampu memberikan kepuasan bagi para pemilik hak suara untuk menyuarakan keinginannya untuk dijadikan pemimpin.

Kita dininabobokkan romantisme pemilu langsung terbanyak peserta dan paling kompleks di dunia. Yang menasbihkan kita sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia. Benar, bahwa kita memiliki penduduk (peserta pemilihan) yang banyak, memiliki representasi partai yang beragam, sebaran demografi yang luas.

Hanya saja, barangkali sebatas itu kita saat ini bisa berbangga. Menjalankan demokrasi prosedural yang aman dan damai. Persoalan kualitas dan progress-nya ya nanti dulu. Harap bersabar.

Di sisi lain, nilai-nilai demokrasi yang ada baik dalam konteks proses politik secara umum maupun demokrasi, berjalan tidak efektif. Buktinya, Democracy Index hasil rilis dua tahunan Economic Intelligent Unit (2016) menyebutkan, Indonesia (48) masih berada di papan tengah. Bandingkan dengan Taiwan (33), India (32), atau Jepang (20) atau negara demokrasi lainnya. Bahkan, dengan Timor Leste (43) yang dulu bergabung dengan kita saja kita ketinggalan. Banyak pekerjaan rumah yang segera perlu diselesaikan.

EIU sendiri dalam membuat pemeringkatan dan mengkategorisasi kualitas demokrasi negara-negara di dunia tidak semata mendasarkan pada demokrasi prosedural berupa pemilu di tingkat pusat maupun di daerah (negara bagian maupun pilkada jika di Indonesia). Mereka juga mengajukan beberapa kriteria, seperti Proses Pemilihan dan Keragaman, Kebebasan Sipil, Kinerja Pemerintah, Partisipasi Politik dan Budaya Politik.

Nah, pada kerangka partisipasi politik dan budaya politik inilah barangkali kita perlu banyak belajar. Memperbaiki partisipasi publik menjadi lebih independen dan juga budaya politik yang lebih terbuka dan dialogis.

Merujuk pada beberapa pilkada sebelumnya, yang juga ditunjukkan dari panasnya persiapan pilkada serentak 2017 ini, ada begitu banyak permasalahan politik yang berpotensi konflik. Politik kita yang konon demokrasi ini justru dihadapkan pada nilai-nilai yang tidak demokratis. Keterbukaan menjadi hilang, kejujuran menjadi barang langka, rasa saling menghargai pun demikian.

Tidak cuma di dunia nyata lewat berbalas aksi di jalanan. Di dunia maya pun demikian, buzzer parpol dan kandidat juga bertikai tiada henti. Dan kembali lagi, publik secara luas yang nantinya berpartisipasi dalam pilkada justru seolah tidak mendapat ruang berekspresi secara wajar. Sebagai imbas mudahnya labeling pro ini kontra itu, anti-kebhinekaan, antek-asing, dst.

Pilkada Hura-Hura menjadi Politik Sebagai Rutinitas

Stabilitas dan partisipasi publik barangkali sering dibaca sebagai hal yang bertentangan dalam politik kita. Kita seolah ketakutan dengan pengalaman di masa lalu, di mana stabilitas diidentikkan dengan sulitnya menunjukkan preferensi maupun ide.

Oleh karenanya kita melulu menempatkan stabilitas di satu kotak, dan partisipasi publik di sisi yang lain. Bukan hal istimewat sebenarnya, jika kita mau menempatkan stabilitas dan partisipasi publik dalam satu tempat.

Jika selama ini kita disibukkan dengan langkah-langkah prosedural dalam mencapai sistem yang demokratis, nampaknya perlu juga dipikirkan bagaimana demokrasi kita dimunculkan melalui proses-proses dialogis non-formal. Sebagaimana bangsa kita yang sejak dulu dikenal “gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo”.

Memang petuah satu ini Jawa sentris. Tapi saya kira di manapun tempat di negara ini, petuah-petuah demikian sudah mahfum adanya. Hubungan-hubungan sosial yang positif adalah pendekatan kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kembali ke konteks pilkada (dan juga pemilihan lainnya) perlu kiranya partisipasi publik dan budaya politik yang positif dikedepankan. Partisipasi publik harus dimunculkan dengan jalan mengubah nalar pemilihan yang semata perayaan periodikal, melainkan sebuah proses yang berkesinambungan.

Pilkada jangan dimaknai sebagai pesta yang sebatas hura-hura. Jika kita memperlakukan pilkada seperti ini, maka yang terjadi adalah orang-orang berduit saja yang akan berpartisipasi.

Memperluas spektrum waktu pembacaan kandidat dari setahun terakhir (atau bahkan kurang) menjadi lima tahun menuju pilkada memungkinkan biaya untuk mengenali kandidat menjadi lebih murah. Publik pun akan lebih mudah dalam mengenal kandidat.

Pilkada sebaiknya tidak dibaca dalam kurun satu tahun terakhir menuju hari-H. Ini merupakan proses pembacaan atas personal, ide-ide, serta kontribusi calon, yang harus bisa dibaca dalam lima tahun terakhir.

Perbincangan atas mereka dibangun dengan kerangka dialog keseharian. Harapannya, masukan positif maupun negatif, tidak lagi dimaknai usaha untuk saling mengalahkan, melainkan untuk terlibat dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik. Karena bagaimana pun, politik adalah proses melayani publik. Bukan mencari uang dari publik.

*Dengan beberapa penyesuaian redaksi
**Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1178881/18/pilkada-untuk-publik-mungkinkah-1486733374

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *