Cahyo Seftyono

Belajar Bersama, Maju Bersama

Cahyo Seftyono

Catatan (Agak) Pinggir: “Valet Parkir Motor (Bebek), Rio Sejarah F1 Indonesia dan Kebutuhan Eksistensi Kita”

“Kata ibuk saya, gengsi makan biaya!”

Blog

“Kata ibuk saya, gengsi makan biaya!”


Semingguan ini ada beberapa hal lucu yang saya alami. Baik secara langsung, maupun ga langsung. Kejadian pertama adalah manakala saya nganter istri yang lagi ngidam (jiee, ceritanya saya jadi suami siaga) ke Pasar Gedhe Solo buat beli es dawet. Bukan perkara es Dawet legendarisnya yang lucu, tapi perkara Valet Parkir Motor yang baru hari itu saya rasain. Kedua, gegap gempita terkonfirmasinya Rio Haryanto sebagai pembalap F1 pertama dari Indonesia. Kagak bohong gw, doi emang fenomena. Sebagaimana biasa, pro-kontra terkait sejarah dunia perbalapan Indonesia ini meramaikan media-media di tanah air. Ya, kita ini memang paling susah untuk bersepakat dalam banyak hal. Makanya saya ga heran, KMP dan KIH yang udah bubar aja masih sering jadi label kalo kita ribut. Bener gak?

Kita mulai aja dari Valet Parkir Motor (Bebek). Sebenarnya saya juga ndak ndeso-ndeso amat lho soal fasilitas beginian. Hanya menariknya, fasilitas yang biasanya cuma ada di hotel, apartemen, atau mall gede kali ini saya temuin di pasar. Beneran di pasar, bukan tempat-tempat mewah dan berkelas. Kenapa saya katakan bukan tempat mewah dan berkelas? Karena seketika saya pulang dari pasar, saya segera googling ada ndak sih pasar lain yang ada valet parkirnya? Ternyata ndak ada. Saya cuma nemu diskusi soal valet motor ini (di salah satu forum diskusi) di beberapa mall mewah di ibu kota. Percaya atau tidak, valet parkir motor ini pun hanya menerima motor-motor dengan cc di atas 200, dengan sebagian besarnya Herli. Bahkan terjadi sedikit keributan di forum tersebut, banyak yang mencoba mengeliminir konsumen yang hanya dikhususkan untuk moge. Artinya motor-motor produksi umum, termasuk Ninin 250, ga layak menikmati fasilitas ini. Asem, belagu tenan!

Valet parkir motor (bebek) di Pasar Gedhe ini menurut saya lucu-lucu bermutu, mengingat apa yang dilakukan memenuhi beberapa aspek humanis. Ceileh.. Fasilitas ini menjembatani program pembangunan yang dilakukan oleh PemKot Solo yang melarang bibir pasar untuk dijadikan parkir. Dan untuk menghindari ‘pemutusan kerja’ tukang parkir yang bekerja di lokasi semula, maka vasilitas valet parkir motor ini menjadi solusi. Kebijakan ini win win sollution. Area bibir pasar ga dijadikan lahan parkir, petugas parkir tetap ada kerjaan dan penghasilan, juga pengunjung pasar merasa aman parkir ditempat yang resmi.

Gegeran lain di minggu ini adalah diumumkannya Rio sebagai salah satu pebalap F1 yang akan tampil dalam ajang Grand Prix Formula Satu di tahun 2016 ini. Banyak teman yang mengelu-elukan kabar ini. Heboh luar biasa, sampai-sampai ada yang mendeklarasikan diri kalo akan berpindah pebalap favorit (seperti teman saya di fb sini xixixi). Tapi di sisi lain, ada juga yang mengkritik proses dibalik akan tampilnya Rio di ajang F1, ini. Hmm.. Barangkali tepatnya, mengkritisi jalur kelolosan Rio. Bukan prestasi Rio itu sendiri.

Bagaimanapun, balap F1 memang ajang yang paling bergengsi. Balap di mana keunggulan teknologi, skill pembalap level tertinggi ditampilkan secara total. Maka ndak heran, kalo biaya yang harus dikeluarkan pun (baik personal maupun sponsor) tidak sedikit. Pada titik inilah kemudian saya melihat pro-kontra lolosnya Rio dalam list pebalap F1 2016 menjadi panas. Ada yang melihat itu sebagai tonggak prestasi balap nasional, ada yang melihat sebagai bagian dari pemborosan dana negara (karena biaya diambil dari perusahaan-perusahaan negara/ APBN). Berbeda dengan valet parkit motor (bebek), tampilnya Rio justru ada yang memandang mencederai kebijakan yang pro-publik. Uang beratus milyar ‘seolah’ terpaksa dikeluarkan untuk membiayai perjuangan satu orang saja.
Gengsi Makan Biaya

Berbicara tentang balap, Indonesia sebenarnya memiliki sejarah eksistensi yang panjang berkaitan dengan olah raga ini. Di dunia balap roda dua kita kenal Om Chia, begawan balap Suzuki. Sony Saksono pebalap Indonesia pertama yang naik podium GP 500 tahun 1970an. Agak kesini, kita kenal Kerry Hutama (Jagoan Kawasaki), atau Ahmad Jayadi dan Hendriansyah juga Doni Tata Pradita yang menjadi ujung tombak Yamaha Indonesia dalam kancah balap nasional maupun regional. Untuk Doni Tata, dia pernah juga nimbrung balap GP 125 dan 250, walopun kurang moncer. Semakin ke sini ada Andi Farid yang berprestasi lewat pacuan Honda. Dua pabrikan terakhir bahkan punya akademi untuk pebalap pemula mereka yang akan diorbitkan ke ARRC bahkan MotoGP.

Di sisi lain, balap mobil Indonesia juga sudah membuktikan beberapa pebalap terbaiknya. Seperti Rifat Sungkar di ajang Rally maupun Rio Haryanto dan Sean Gelael yang menunjukkan bakat di sirkuit aspal. Balap mobil tentu membutuhkan biaya yang lebih besar, selain juga cenderung dinikmati kalangan menengah ke atas. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Ga pernah ada cerita abis nonton F1, saya merengek minta mobil. Bisa disembur ortu, ntar. Wakakak Beda dengan balap motor, sebagai warga kelas menengah bawah, begitu kelar nonton balap motor jaman kecil saya dulu sering langsung geber motor. Murah meriah gitu lho..

Begitulah balap, eksistensinya memang butuh biaya yang ndak sedikit. Seinget saya untuk satu motor replika RCV 213 S kembaran motor Marquez saja kita harus merogoh lebih dari 1 Milyar. Saya ndak bisa memperkirakan pastinya untuk mobil F1 dan segala kelengkapannya, yang jelas memang ketika hendak memastikan satu kursi tim Manor, Rio harus menyiapkan kocek 100 Milyar lebih. Kita bisa saja berdebat soal ‘kebanggaan dan nasionalisme’. Apalagi dibumbui doa, ayat kursi dan shalat tahajud. Semakin susah saya untuk melawan nalar dukungan. Duh dik..

Saya coba untuk sedikit netral. Seandainya memang kita mau membuat sejarah, saya cenderung untuk mengantarkan Ahmad Jayadi-Ahmad Jayadi muda untuk digembleng masuk ke Moto GP. Kita punya banyak stok pebalap motor berkualitas; sirkuit yang memadai untuk Moto GP (Ingat, kita ga ada sirkuit yang layak gelar F1, artinya ga akan ada pemasukan dari aspek penyelenggaraan F1 untuk Indonesia); ada pabrikan-pabrikan yang rutin mendukung gairah balap motor; dan yang ga kalah penting banyak bibit-bibit pebalap yang hadir dari kalangan menengah ke bawah yang jumlahnya bejibun. Tapi apa boleh buat, gengsi F1 tentu lebih besar dibanding Moto GP. Ibarat di valet parkir, motor bebek ketemu Herli. Hahaha

Sebagai penutup. Apapun perdebatan kita, Rio sudah pasti masuk list pebalap F1 2016 bersama Manor. Selamat berjuang Rio, semoga sukses, doa anak bangsa bersamamu!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *